Ahli Antropologi Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Mahmud Fasya menjelaskan, variasi kosakata bahasa Sunda, khususnya untuk menyatakan konsep jatuh, memang istimewa dibanding bahasa lain. Jika ditarik dalam ilmu linguistik, kosakata yang melimpah tadi dapat dijelaskan dalam ranah semantik atau ilmu tentang makna kata dan morfologi (bentuk kata).
Mengingat bahasa itu arbitrer atau manasuka, maka kosakata jatuh akan dipakai sesuai dengan kesepakatan yang dipilih penuturnya.
"Ini sangat berkaitan dengan aspek sosial budaya penuturnya. Ketika konsep itu dipandang akrab dengan keseharian masyarakatnya dan dianggap penting oleh penuturnya, konsep tersebut akan dinyatakan dan dirinci dalam bahasa itu," kata Mahmud saat ditemui Liputan6.com, Jumat 26 Oktober 2018.
Di kalangan orang Eropa, ia mencontohkan, ada beragam kosakata untuk penyebutan daging sapi dan olahannya. Misalnya ada sebutan sirloin, tenderloin, beef steak, dan turunan lainnya. Atau misalnya kosakata salju yang punya beragam penyebutan bagi orang Eskimo.
"Padi di Sunda juga dinyatakan dengan beragam kosakata. Ada pare, segon, bangsal, dan gabah. Kalau sudah diproses, ada beas, beunyeur, bakatul, dan huut. Kalau sudah dimasak, ada sangu, kejo, lontong, dan banyak variannya. Sedangkan di Inggris hanya dikenal rice saja," ujarnya.
Demikian halnya berkaitan dengan momen 'terjatuh', ada ruang dan waktu yang melekat di dalamnya. Tak terkecuali lingkungan yang menjadi tempat menetap bagi orang tersebut.
Misalnya ruang hidup orang Sunda yang tanahnya berbukit-bukit dengan curah hujan dan kelembapan yang tinggi, ini memungkinkan orang untuk terjatuh dalam beberapa variasi gerakan akibat jalurnya licin. Hal itu akan berpengaruh pada penyebutan variasi gerakan yang makna dasarnya adalah jatuh.
"Sehingga diperlukan kosakata yang spesifik untuk mengidentifikasikan gerakan-gerakan jatuh itu," ungkapnya.
Walaupun demikian, bukan berarti orang Sunda suka terjatuh. Sebab hanya ruang dan waktunya saja yang berbeda.
"Itulah kenapa misalnya kosakata atau istilah yang dipakai terkait terjatuh itu tidak dinyatakan secara rinci dalam bahasa yang lain. Bisa jadi, itu tidak penting buat mereka karena momennya tidak ada dalam hidup mereka," paparnya.
Dalam kajian lingustik, variasi bahasa memang dapat muncul karena adanya variasi konsep atau kegiatan. Pada umumnya ada dua cara untuk menyatakannya dalam bahasa, secara leksikal atau gramatikal.
"Konsep waktu orang Inggris itu dinyatakan secara gramatikal lewat tenses, tetapi orang Sunda lewat leksikal. Nah, untuk menyatakan konsep 'jatuh' pun, orang Sunda memilih cara leksikal, bukan cara gramatikal," ungkapnya.
Ia menyebutkan, orang Sunda memilih unsur leksikon karena merasa penting untuk menyebutkan momennya sehingga lahirlah kosakatanya. Di tempat lain itu ada kemungkinan berbeda karena pengalaman hidupnya tidak berkaitan dengan gaya jatuh tersebut.
Sebagaimana diungkapkan ahli bahasa Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf (Sapir-Whorf), lanjut Mahmud, terdapat relativitas bahasa dan budaya: ada hubungan kuat antara bahasa, budaya, dan pikiran seorang penutur. Artinya, kondisi dan kebudayaan seseorang sangat mempengaruhi bahasa yang digunakannya dalam komunikasi sehari-hari.
Hal itu berbeda dengan pendapat ahli bahasa Amerika, Noam Chomsky, yang menyebutkan bahasa itu universal.
from Berita Hari Ini, Kabar Harian Terbaru Terkini Indonesia - Liputan6.com kalo berita kurang lengkap buka link disamping https://ift.tt/2PsmWd5
No comments:
Post a Comment